Oleh: Ongky Nyong, SH
Direktur YBH Justice Malut
Prof.Inu Kencana Syafi’i memknai pemerintahan sebagai moral yaitu bahwa moral seorang birokrat pemerintahan harus menjadi landasahan krusial dalam memandu tindakan pelaksanaan tugas pokok diruang pelayanan publik.
Hal ini karena birokrasi desa harus dipandang sebagai sentral pelayanan publik strategis yang paling terdepan, dimana menurut penulis bukan hanya pelayanan yang bersifat administratif saja namun juga lebih dari itu pelayanan secara advokatif dalam upaya melindungi hak-hak asal usul desa yang telah diamanatkan oleh konstitusi demi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Praktik pemerintahan desa sebetulnya menjadi cerminan dari membuminya demokrasi didalam pemerintahan nasional atau daerah, artinya poin ini penulis ingin tegaskan bahwa ukuran kualitas demokrasi pemerintahan daerah dapat dilihat pada implementasi demokrasi pemerintahan yang ada di Desa.
Menariknya menurut penulis, bahwa desa tentunya memiliki karakteristik dan dinamika yang berbeda – beda, sehingga sistem tata kelola pemerintahan desa didesain lebih strategis untuk mampu menjajawab tuntutan kehidupan lokal dalam konteks desa termasuk penetapan aspek kewenangan secara lokal (asas subsidiaritas).
Kita menyadari bahwa desa saat ini telah memasuki babakan baru, hal ini dapat dilihat dengan jelas pada semangat lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Desa diantaranya yaitu penghargaan atas keberagaman, penguatan payung hukum pemerintahan desa, pemberian anggaran secara langsung ke Desa, partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan proses penganggaran (participatory budgeting), terbukanya kesempatan usaha desa baik melalui Badan Usaha Milik Desa atau koperasi desa atau lainya yang dikembangkan berdasarkan potensi desa serta mendorong adanya transfer tekhnologi.
Hal ini bahwa reformasi birokrasi desa adalah sebuah kemestian yang harus diwujudkan untuk menjawab tantangan – tantangan desa pada babak baru ini. Konsepsi reformasi birokrasi itu sendiri lahir sebagai solusi tepat di era reformasi pada tahun 1998 yang bertumpu diatas semangat pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Semangat penulis dalam persembahan tulisan kali ini adalah ditengah gelombang sosial politik yang penulis amati akhir-akhir ini cukup mengganggu stabilitas kepemimpinan desa dan gejolak akibat problem kepercayaan publik dalam pengelolaan keuangan desa, muncul kebijakan scerdas dan berani oleh Bupati Halmahera Selatan Hasan Ali Bassam Kasuba dan Wakil Bupati Helmi Umar Muksin yaitu Retreat 249 kepala desa dan 30 camat di kampus IPDN Jatinangor kurang lebih selama 5 hari, dengan materi yang menjadi sasaran penguatan kapasitas kepemimpinan desa maupun kecamatan yang menurut penulis sudah sangat tepat.
Kebijakan berani ini kemudian para kades dan camat serta publik pun menghujani pujian kepada kedua pemimpin cerdas ini dan diakhir kegiatan retreat gelombang kedua tepat pada acara penutupannya Bassam-Helmi juga mendapat penghargaan dari IPDN berupa Kartika Pamong Praja Muda dan Alumni Kehormatan.
Nah terpisah dari poin prestasi kebijakan retreat ini, penulis kemudian memaknai retreat tersebut merupakan sebuah transformasi nilai yang ditanamkan kepada para kades dan camat sehigga ini menjadi sebuah spirit dan harapan besar terwujudnya reformasi birokrasi desa yang saat ini menjadi tuntutan di era digitalisasi sistem pemerintahan.
Sehingga menurut penulis bahwa 249 kepala desa dengan selesainya mengikuti kegiatan retreat yang juga dapat disebut sebagai alumni kampus IPDN Jatinangor, dengan bekal pengetahun dan pemahaman tugas pokok serta bekal pembinaan mental.
Harapannya dapat menyelesaikan tugas sekaligus prioritas pada dua tantangan dalam upaya mewujudkan reformasi birokrasi di desa masing-masing, nah dalam pandangan penulis sendiri dua tantangan dimaksud diantaranya yaitu :
Pertama, Problem sosial politik di desa sejak pasca pilkades hingga saat ini yang tak kunjung selesai sehingga menjadi faktor yang mempengaruhi proses reformasi birokrasi desa dalam kepentingan mewujudkan pembangungan desa serta terganggunya stabilitas kepemimpinan di desa masing-masing.
Kedua, Tingkat kepercayaan publik terhadap implementasi asas akuntabilitas pengelolaan keuangan desa dan untuk poin ini penulis hanya menganalisis melalui pendekatan peristiwa pengaduan dan laporan masyarakat baik pada Aparat Penegak Hukum maupun Inspektorat daerah hamahera selatan.
Gejolak Sosial Politik Desa
Salah satu faktor terjadinya ketidakstabilan kehidupan bermasyarakat di desa adalah trauma adanya komunitas pihak oposisi kepemimpinan desa yang tentunya muncul sejak pemilihan kepala desa yang kemudian ditengah perjalanan menjadi pihak eksternal pressure dalam mengganggu stabilitas kepemimpinan di desa.
Tentunya hal ini menjadi dilematis tersendiri bagi kepala desa nantinya pada saat ingin berupaya untuk melaksakana kontrak sosial atau visi dan misi pembangunan di desa.
Pada kegiatan retreat bagaimana para kepala desa dibekali dengan pembinaan mental dan materi-materi strategis yang menyentuh pada tugas pokok kepala desa termasuk materi Problem Solving (pemecahan masalah), harapannya para kades dapat memahami dengan baik bagaimana mengidentifikasi, menganalisis masalah dan menemukan solusi pemecahan masalah tersebut.
Terhadap konflik sosial politik di desa – desa, penulis ketahui ini sudah menjadi seruan kebaikan oleh Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba kepada seluruh kades di Kabupaten Halmahera Selatan untuk menyelesaikannya demi menjaga stabilitas daerah.
Tentunya ini membutuhkan mental seorang pemimpin desa yang baik guna menyudahi konflik sosial dengan cara bagaimana bisa saling memaafkan satu sama lain untuk kepentingan bersama membangun desa lebih sejahtera, mandiri dan tercipta kehidupan yang damai.
Menurut penulis, pasca retreat para kades tidak lagi lebih berorientasi keluar desa namun harus fokus pada PR menyelesaikan konflik sosial politik desa dengan harapan pastinya akan meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desa sehingga pemerataan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Akuntabilitas pengelolaan keuangan desa dalam pemahaman penulis adalah upaya mengelola keuangan desa dengan mental jujur dan berani mempertanggungjawabkan yang benar dan berani pula mempertanggungjawabkan yang salah.
Akuntabilitas menjadi asas normatif dalam pengelolaan keuangan desa, sebagaimana secara eksplisit termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pada pasal 2 menyebutkan salah satu asas pengelolaan keuangan desa adalah asas akuntabilitas.
Asas ini menjadi pondasi utama dalam membangun kepercayaan masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa, dimana masyarakat tidak akan merasa ragu ketika konsep pengelolaan keuangan desa bertumpu pada asas akuntabilitas yaitu bagaimana seorang kepala desa sebagai pengelola dana desa mampu memberikan kejelasan secara detil kepada masyarakat tentang sasaran peruntukan keuangan desa yang sekaligus dapat dilihat.
Dan dirasakan langsung oleh masyarakat itu sendiri serta berani menunjukan dimana aspek kendala dalam pengelolaan dana desa tersebut.
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa terus terjadi adanya pengaduan dan laporan masyarakat tentang dugaan adanya penyimpangan atau ada dugaan terjadi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana desa? hemat penulis, selama ini pengelola keuangan desa model pertanggungjawabannya secara administratif lebih berorientasi keluar desa dibandingkan mestinya berorientasi pada masyarakat desa terlebih dahulu.
Sehingga terkesan tidak transparan apalagi akuntabel. Dari fakta seperti ini dapat terjadi masyarakat kesulitan mendapat akses informasi berbasis data mengenai sasaran penggunaan keuangan desa.
Kemudian catatan dalam sistem pengawasan khususnya inspektorat daerah untuk kepentingan pembinaan kiranya dapat menerapkan sebuah mekanisme sekaligus evaluasi yang transparan dapat diakses oleh masyarakat di setiap desa.
Retreat yang menjadi terobosan strategis ini, begitu banyak kades dan camat yang merasakan langsung asas manfaat secara kompetensi pengetahuan dan mental serta menyampaikan apresiasi kepada Bupati dan Wakil Bupati, bagi penulis ini menjadi ukuran bahwa kebijakan tersebut sangat berdampak lebih baik dalam penguatan kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa.
Para kades cukup memiliki gambaran bagaimana melakukan langkah – langkah reformasi birokrasi desa yang professional minimal dimulai dari kedua poin yang telah dipaparkan diatas.
Kesimpulan
Pada kesimpulan penulis hanya menegaskan kembali bahwa dengan adanya terobosan penguatan kapasitas aparatur pemerintahan dalam hal ini adalah para kades dari 249 desa yang berkampus langsung di kampus IPDN Jatinangor dengan materi materi yang cukup membuka cakrawala dan wawasan serta pemahaman terhadap tugas pokok para kades.
Ini akan menjadi harapan baru dalam mewujudkan reformasi birokrasi desa yang dengan harapan dimulai dari penyelesaian konflik sosial politik desa dan pengelolaan keuangan desa yang akuntabel.
Dimana Akuntabilitas dalam pemahaman penulis yaitu Pengelolaan keuangan desa dengan jujur dan berani mempertanggungjawabkan yang benar dan berani mempertanggungjawabkan yang salah.






